Resensi
Judul buku : Max Havelaar (Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the
Dutch Trading Company)
Pengarang : Multatuli/Eduard Douwes Dekker
Penerbit : Qanita, PT Mizan Pustaka
Buku Max Havelaar ini berkisah tentang keseharian
seorang Max Havelaar yang menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten. Selama ia
menjabat sebagai asisten residen, ia menjumpai banyak warganya yang menjadi
korban tindakan sewenang-wenang dari Bupati Lebak (warga pribumi). Banyak warga
yang sawah dan ternaknya dirampas atau dibeli dengan harga yang tidak sesuai
oleh Bupati Lebak. Kejadian ini dibiarkan begitu saja oleh Residen Banten
(warga Belanda). Ia memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kodisi
masyarakat sebenarnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda (warga Belanda).
Dalam laporan tersebut seolah tak ada penindasan yang terjadi di daerahnya.
Singkatnya, sebagai Asisten Residen Lebak, Max
Havelaar banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai ketidakadilan sang
penguasa, yaitu Bupati Lebak. Max Havelaar pun melaporkan keluhan masyarakat ke
Residen Banten, agar Residen memecat Bupati Lebak. Max Havelaar juga melaporkan
keluhan tersebut ke Gubernur Jendral Hindia Belanda. Permintaan Max Havelaar
ditolak, dan ia diberhentikan sebagai Asisten Residen Lebak. Setelah itu ia
berhenti sebagai Asisten Residen.
Bentuk penulisan Douwes Dekker dalam buku ini
terbilang cukup unik. Pada bab-bab awal buku ini, ia tidak langsung
menceritakan mengenai kisah seorang Max Havelaar. Ia bercerita mengenai seorang
makelar kopi bernama Droogstoppel. Mengambil sudut pandang orang pertama
sebagai Droogstoppel, Douwes Dekker berkisah mengenai pertemuan Droogstoppel
dengan Sjalmaan. Sjalmaan ini kemudian meminta agar Droogstoppel menerbitkan
naskah tulisannya.
Setelah melalui beberapa proses, akhirnya naskah
Sjalmaan ini setuju untuk diterbitkan oleh Droogstoppel. Naskah dari Sjalmaan
tersebut kemudian ditulis oleh Kern, anak dari salah satu kolega Droogstoppel,
untuk kemudian diterbitkan. Bagian pertengahan dari buku Max Havelaar ini
menceritakan tentang naskah dari Sjaalman. Naskah tersebut berupa kisah hidup
seorang Max Havelaar, seorang Asisten Residen di Lebak, Banten. Mulai dari
naskah Sjalmaan ini, sudut pandang penulisan tak lagi sebagai orang pertama,
tetapi menjadi sudut pandang orang ketiga.
Pada bab terakhir, Multatuli muncul. Ia menegaskan
bahwa bukunya ini memang terlihat tak terkonsep dan berantakan, namun soal
penindasan yang terjadi oleh kolonial Belanda dan pribumi yang korup ialah benar.
Hal tersebutlah yang ingin ia tunjukkan dalam bukunya. Penindasan dan pemerasan
terhadap masyarakat.
Harus diingat bahwa tetap sudut pandang dari buku ini
adalah sudut pandang orang Belanda. Dalam buku tersebut dikisahkan bahwa yang
melakukan penindasan adalah sang Bupati, yaitu bangsa pribumi. Sementara “dosa”
dari bangsa Belanda, yaitu Residen dan Gubernur Jendral, adalah karena mereka
membiarkan hal tersebut terjadi.
Meski kebenaran dari buku ini belum ada yang
menyangkal, tetap saja masih belum bisa menggambarkan dengan utuh kondisi
sebenarnya. Maka, kisah yang tertulis dalam Max Havelaar ini cukuplah menjadi
sebuah rangkaian puzzle dalam sebuah bingkai besar sejarah Indonesia. Buku ini
pula menjadi bukti bahwa sebuah karya tulis dapat menjadi salah satu cara untuk
menyebarkan ide dan gagasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar