Aku terbangun.
Jam menunjukkan pukul 04.05. “10
menit lagi alarm akan berbunyi”, gumamku dalam hati. Hanya dalam waktu 10 menit
inilah aku bisa merasakan nikmatnya kesunyian malam. Sepi, hampa, sunyi. Seakan
dunia hanya ada aku dan Tuhanku. Mungkin inilah sebabnya pada waktu tersebut
umat muslim sangat dianjurkan melaksanakan shalat Tahajjud.
“Allahu Akbar Allahu Akbar….”
Azan Subuh berkumandang, menandakan
saatnya aku dan keluargaku memulai aktivitas. Sudah menjadi kebiasaan antara
aku dan ibuku bergantian dalam hal saling membangunkan anggota keluarga lainnya.
Kali ini, aku yang membangunkan kedua orangtuaku dan kakakku.
Sejam sudah berlalu dan saatnya aku
dan bapakku berangkat meninggalkan rumah, dan kami semua mulai melakukan
rutinitas—yang dapat dibilang membosankan—kami masing-masing.
Seperti biasa, bapakku menurunkanku
di Jl. Talang (di samping Lawson). Kemudian aku berjalan menuju SMAN 68. Hanya pada
saat inilah aku dapat merasakan sejuknya dan nikmatnya udara pagi perkotaan,
sebelum disibukkan dengan berbagai macam aktivitas.
Setibanya di sekolah, aku mengabsen
di fingerprint scanner, lalu, aku
menuju ke kelasku. Setelah menaruh tas, seperti biasa aku langsung menuju
toilet. “Menabung”, kata orang-orang.
Setelahnya, kupersiapkan buku bacaan
untuk mengikuti kegiatan literasi sekolah. Kegiatan ini terbilang unik, karena
seluruh siswa dikumpulkan di lapangan, hanya untuk membaca. “Literasi di
lapangan sama dengan romusha”, ucap guru sejarahku.
Kalau dipikir-pikir, beliau memang
benar. Seluruh rakyat diwajibkan berkumpul di 1 tempat dan salah seorang
pimpinan akan memberikan tugas kepada mereka.
Kalua dipikir-pikir lagi, begitulah
cara kerja dunia. Mereka yang kuat berhak untuk memimpin yang lemah. Ah sudahlah,
mengapa ceritaku jadi mengarah ke situ?
Kalau dikumpulkan di lapangan untuk membaca al-Qur’an
dapat dimaklumi, karena memang disunnahkan/disarankan untuk membentuk
perkumpulan (majelis). Akan tetapi, dikumpulkan hanya untuk membaca buku biasa
yang notabene antar siswa bacaannya berbeda? Itu baru ‘luar biasa”.
“Untuk apa semua program sekolah yang begitu
banyak kita lakukan?”
Itulah pertanyaan yang sering muncul dalam hati dan benakku
saat aku memikirkan dan melaksanakan program-program tersebut.
Inilah salah satu resiko yang harus dihadapi oleh
seluruh warga 68, dimulai saat pertama kali menginjakkan kaki di SMAN 68. Aku sadar
dengan permasalahan ini, dan aku berusaha sebaik mungkin untuk menghadapinya.
Namun, semua orang pasti memiliki titik jenuh. Mungkin
inilah saatnya aku mencapai titik jenuh. Hanya bosan yang kurasa saat melakukan
rutinitasku sehari-hari.
“Kalau anda punya solusi untuk permasalahanku,
silahkan kirim solusi anda dengan ketik REG (spasi) 9090”
Kira-kira itulah caraku dalam mencari solusi dari
permasalahan ini J
Sudahkah kuberitahu kau bahwa aku merupakan pengurus
ekstrakurikuler—marching band & rohis—sekolah? Ya aku tahu, kedua ekskul
tersebut dapat dibilang saling bertolak belakang. Namun, pikirkanlah sekali
lagi, kedua ekskul tersebut malah dapat membuatku imbang. Mengapa? Marching band
yang berorientasi pada kehidupan “dunia’ dan Rohis yang berortientasi kepada
kehidupan “akhirat” lah yang membuatku seimbang.
Aku tahu apa yang para pembaca pikirkan.
“Di manakah letak patriotismenya?”
Kalau kalian membaca dan menelaah tulisanku lebih
dalam, terselip banyak contoh sikap patriotisme.
Bukankah literasi yang menyebabkan para patriot bangsa
sukses dalam merebut kemerdekaan bangsa? patriot-patriot tersebut sangat
menyukai kegiatan literasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa literasi lah yang
membuka mata bangsa Indonesia dan membuatnya terpicu untuk merebut kemerdekaan.
Jadi, dengan melakukan kegiatan semudah kegiatan literasi, tanpa disadari kita
sudah mulai menanamkan sikap patriotisme dalam diri kita.
Bukankah agama mengajarkan untuk membela tanah air
sebaik-baiknya? Melalui Rohis, kita saling bertukar pikiran dan melakukan
berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memajukan bangsa. tanpa disadari,
terdapat nilai patriotisme dalam kegiatan tersebut.
Saat latihan dan penampilan marching band, kita
diajarkan untuk menghargai dan menghayati lagu yang dibawakan, tak terkecuali
lagu-lagu wajib nasional. Dengan membawakan lagu-lagu semacam itu dengan
khidmat dan menghayatinya, timbul rasa nasionalisme dan patriotisme. Tanpa disadari
pula, terdapat nilai patriotisme dalam kegiatan tersebut.
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap hari di
sekolah jika dilihat secara umum memang kurang efektif dalam menimbulkan rasa
patriotisme. Akan tetapi, bukankah sudah menjadi tugas kita untuk berpikir
kritis terhadap segala permasalahan yang dihadapi?
Pada akhirnya, semuanya kembali kepada masing-masing individu,
entah ingin maju bersama ataupun tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar